Sejak saya merantau dari Sumba ke Bali tahun 2016 sebagai mahasiswa UPMI Denpasar, hingga kini bekerja sebagai kuli, saya selalu merasa Bali menerima saya dengan hati yang terbuka. Karena itu saya sedih melihat bagaimana media mainstream justru sering mengarahkan perhatian rakyat ke arah yang salah—mengadu pendatang dan warga lokal seolah-olah kita musuh satu sama lain. Ulah oknum diperbesar, identitas digeneralisasi, dan rakyat kecil dijadikan bahan tontonan.
Sementara kita sibuk saling curiga karena framing media, persoalan yang jauh lebih besar berjalan senyap: tanah dijual pelan-pelan, pantai dipagari, sawah digantikan bangunan, lingkungan rusak tanpa kontrol, dan ruang hidup masyarakat mengecil dari waktu ke waktu. Inilah kekuatan besar yang jarang disentuh oleh pemberitaan—modal besar yang bebas bergerak karena perhatian publik dialihkan ke konflik kecil yang sebenarnya tidak perlu.
Sebagai orang Sumba, saya juga ingin mengingatkan saudara-saudara saya di Bali: kita datang ke sini untuk sekolah, bekerja, dan mencari hidup yang lebih baik. Kita ini numpang, dan tidak ada alasan untuk membuat onar yang merusak nama Sumba. Jaga diri, jaga sikap, hormati aturan dan adat setempat—karena satu kesalahan kecil bisa membawa stigma untuk kita semua.
Untuk warga Bali, saya mengucapkan terima kasih karena telah memberikan ruang bagi kami yang bekerja jujur dan ingin hidup tenang. Dan untuk kita semua, mari lebih bijak dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi media yang memecah belah. Kita ini sama-sama rakyat kecil; jika kita saling menyerang, maka yang menang hanyalah kekuatan besar yang diam-diam mengambil masa depan Bali dan Nusa Tenggara.( Lusia Nyai Kaperwil Kalbar)
#ImanuelKarango
#TintaKuli
#SuaraJalanan
#KodiPasolaBali
#HimakBali
0 Comments