PONTIANAK – Polemik pemberitaan dugaan penimbunan BBM subsidi di Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, telah berkembang menjadi skandal pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pelanggaran tersebut diduga kuat dilakukan oleh oknum wartawan Majang, portal Kalimantan Post, yang secara ironis mengaku telah lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW), namun justru memperlihatkan kebodohan hukum pers yang mencolok dan memalukan.
Perlu ditegaskan tanpa kompromi: hak jawab dan hak sanggah bukan milik wartawan, bukan milik media lain, dan bukan alat propaganda untuk menggiring opini publik. Hak tersebut adalah hak eksklusif pihak yang dirugikan langsung oleh pemberitaan, sebagaimana diatur tegas dalam Pasal 1 angka 11 UU Pers.
Apa yang dilakukan oknum wartawan Kalimantan Post bukan hanya keliru, tetapi merupakan bentuk penyalahgunaan instrumen hukum pers secara brutal dan disengaja. Sanggahan yang diterbitkan:
Tidak berasal dari pihak yang dirugikan,
Tidak disertai mandat tertulis,
Tidak ditujukan kepada media penerbit berita,
Dan lebih parah lagi, diterbitkan sebelum berita utama dipublikasikan.
Secara hukum pers, tindakan tersebut cacat total, tidak sah, dan batal demi hukum. Ini bukan kesalahan teknis, melainkan pelanggaran sadar terhadap UU Pers.
Lebih absurd dan mencurigakan, “hak sanggah” diterbitkan sebelum tanggal 19 Desember 2025, sementara berita utama belum tayang. Dalam praktik jurnalistik yang sehat, tidak pernah ada hak jawab atas berita yang belum ada. Fakta ini menguatkan dugaan adanya rekayasa opini, manipulasi persepsi publik, dan upaya sistematis mengamankan kepentingan tertentu sejak dini.
Pada saat oknum tersebut sibuk membangun narasi tandingan, tim kami justru berada di lapangan, melakukan kerja jurnalistik yang sah: pendokumentasian, verifikasi, dan upaya konfirmasi.
Pihak Alun, yang diduga sebagai pemilik BBM subsidi, secara sadar menghindar dari klarifikasi, sementara konfirmasi resmi ke Polsek Meliau pada 20 Desember 2025 nihil karena kantor kosong. Fakta ini sengaja diabaikan dan ditutup-tutupi dalam sanggahan yang bersifat manipulatif.
Tidak berhenti di situ, oknum wartawan Kalimantan Post bahkan melontarkan pernyataan sesat bahwa DPC organisasi media dilarang meliput wilayah lain. Pernyataan ini adalah kebohongan hukum, penyesatan publik, dan bentuk intervensi terhadap kemerdekaan pers.
Kami tegaskan dengan keras: tidak ada satu pasal pun dalam UU Pers yang membatasi wilayah liputan wartawan. Sebaliknya, Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Pers justru melarang segala bentuk pembatasan, intimidasi, dan penghalangan kerja jurnalistik. Pernyataan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai upaya pembungkaman pers dan delegitimasi kerja jurnalistik yang sah.
Sebagaimana ditegaskan wartawan senior Budi Gautama, selama liputan dilakukan berbasis fakta lapangan, data valid, dokumentasi otentik, dan prinsip keberimbangan, maka peliputan lintas daerah dilindungi penuh oleh undang-undang.
Fakta tidak bisa dibunuh dengan opini.
Hukum tidak bisa dikalahkan oleh narasi pesanan.
Pasal 6 UU Pers secara tegas menyatakan bahwa pers bertugas memenuhi hak publik atas informasi yang benar. Opini tanpa verifikasi adalah kejahatan etika jurnalistik dan merupakan pembodohan publik secara sistematis.
Kasus ini memperlihatkan wajah buram sebagian insan pers: krisis integritas, krisis kompetensi, dan kegagalan memahami hukum pers. Memiliki KTA atau klaim lulus UKW tidak otomatis menjadikan seseorang jurnalis yang beradab dan taat hukum. Tanpa etika dan kepatuhan pada UU Pers, karya jurnalistik berubah menjadi alat pembela kepentingan dan propaganda murahan.
Kami tegaskan dengan sikap keras dan tanpa kompromi: fakta lapangan tidak dapat dibantah dengan opini liar. Jika praktik manipulatif semacam ini terus dibiarkan, maka kemerdekaan pers akan hancur dari dalam oleh oknum pers itu sendiri.
Atas seluruh rangkaian pelanggaran tersebut, kami menyatakan siap membawa perkara ini ke Dewan Pers sebagai dugaan pelanggaran berat terhadap UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, serta membuka ruang bagi penelusuran etik dan profesional terhadap oknum wartawan yang bersangkutan.
“Jurnalisme adalah kerja nurani dan fakta, bukan panggung pembela kepentingan. Ketika wartawan memelintir hukum pers, maka ia telah mengkhianati profesinya sendiri,”
tegas Budi Gautama.
(TIM/RED)
0 Comments